LGBT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

ABSTRAKSI

OLEH: LALU HAIDIR ALI

Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada “pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis” terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama.

Pada dasarnya islam telah mengatur pergaulan sesama manusia. Manusia adalah mahluk sosial yang diciptakan oleh Allah SWT, sebagai khalifah untuk mengatur bumi ini. Allah telah menciptakan dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Disebutkan dalam Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya : “wahai manusia, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal.

Manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, maka pergaulan merupakan suatu fitrah bagi manusia. Namun seiring dengan kemajuan zaman, Banyak manusia terjebak dalam pergaulan yang menyimpang, melanggar norma asusila dan hukum. Seperti kasus LGBT yang dewasa ini sering menjadi polemik di berbagai Negara termasuk indonesia. LGBT adalah akronim dari (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang makna secara umumnya adalah hubungan seks dari jenis kelamin yang sama.

Perbuatan LGBT sudah jelas-jelas menyimpang dari sunnatullah dan batas-batas yang sudah ditentukan oleh syari’at islam, serta membawa manusia kembali kepada zaman jahiliah, yaitu kaum Nabi luth. Selain itu LGBT juga berpotensi akan merusak kelestarian manusia. sebab untuk menjaga manusia dari kepunahan, maka dilakukan dengan suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan sehingga bisa mendapatkan keturunan. Sedangkan perkawinan kaum LGBT atau sesama jenis untuk mendapat keturunan adalah sebuah mimpi, serta bertentangan dengan tujuan dari perkawinan yakni, menghasilkan keturunan. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa; “nikahilah wanita-wanita yang bersifat penyayang dan subur (banyak anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan jumlah kalian dihadapan umat-umat lainya kelak pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, At Thabrani dan dishahihkan oleh Albany)

 

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Menurut wikipidia,[1] Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada “pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis” terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama.

LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender)  tentu sangat bertentangan dengan unsur etika, fitrah manusia, agama, dan dunia, bahkan merusak kesehatan jiwa.[2] Homoseks ini akan membawa pengaruh yang negatif terhadap kesehatan jiwa dan akhlak serta melanggar norma masyarakat. Maksud dari norma masyarakat disini adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.[3] Pengaruh-pengaruh negatif tersebut antara lain terjadinya kegoncangan jiwa, depresi mental, pengaruh terhadap akhlak sangat berbahaya karena tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan akan menimbulkan suatu sindrom atau himpunan-himpunan gejala-gejala penyakit mental yang disebut herastenia[4]

Dengan demikian islam sangat melarang homsex. Sebab Allah menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah agar berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah, dan untuk memperoleh ketenangan dan kasih sayang. Sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat Al-Nahl ayat 72:

Allah menjadikan kamu bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah.”

Ayat tersebut menjelaskan nikmat pernikahan dan anugerah keturunan. Betapa tidak, setiap manusia memiliki dorongan seksual yang sejak kecil menjadi naluri manusia, dan ketika dewasa menjadi naluri yang sangat dibendung. Karena itu manusia mendambakan pasangan, karena itu pula keberpasangan antara laki-laki dan perempuan merupakan fitrah manusia, bahkan fitrah makhluk hidup, atau bahkan semua makhluk.[5]

Tujuan dan Manfaat

Penulisan ini memiliki tujuan untuk:

  1. Memberikan informasi kepada publik tentang dampak buruk dari LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender).
  2. Mengetahui hukum LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender) ditinjau dari perspektif hukum islam.
  3. Memaparkan bahwa LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender) bertentangan dengan tujuan perkawinan, yakni untuk menghasilakan keturunan. Bukan pelampiasan nafsu syahwat semata.

Adapun manfaat yang dapat dicapai dari penulisan ini adalah:

  1. Masyarakat

Memberikan pencerahan kepada masyarakat umum tentang akibat-akibat buruk dari LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender).

  1. Akademisi

Memberikan sumbangan hasil gagasan tertulis tentang LGBT (Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender) dalam perspektif hukum islam, dan menambah khazanah keilmuan, serta menjadi rujukan bagi pengamat hukum.

GAGASAN

Kondisi Kekinian Pencetus Gagasan

Dalam pergaulan, syari’at sudah memberikan batas-batas yang sedemikian rupa. Termasuk dalam hal perkawinan dan lawan seks, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pada Tanggal 26 Juni 2015, mungkin menjadi hari yang bersejarah buat kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), pasalnya pada hari itu, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) melegalkan pernikahan sejenis. Putusan tersebut, diyakini dapat mempengaruhi keputusan banyak negara untuk ikut membuat keputusan serupa. Walaupun sebelumnya, Seperti yang kita tahu, sebelum Amerika membuat keputusan yang menggemparkan warga dunia, sebenarnya keputusan melegalkan pernikahan sejenis sudah ada sejak 2001 dengan negara Belanda yang menjadi negara pelopor pelegalan pernikahan sejenis.[6] Ini tentu bertentangan dengan syari’at islam.

Solusi Terdahulu

Dalam perspektif sejarah, perbuatan homoseksual pernah terjadi yaitu pada zaman Nabi luth as. Sebagai kaum yang terkenal memiliki sifat-sifat homoseksual, mereka tidak mau mengawini perempuan, kecuali sangat gemar melakukan hubungan sex dengan sesama jenis. Karena itu, Nabi luth as. Mengecam mereka setelah menegaskan ketulusan dan kebebasan motivasinya dari segala kepentingan duniawi.[7] Sesuai firman Allah Dalam Qur’an surat As-syu’ara : 165-166.

“mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh tuhanmu untukmu, akan tetapi kamu adalah orang-orang yang melampui batas.

Lebih lanjut Qurais Shihab menafsirkan Q.S Al-A’raf Ayat :80. “mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu?” Qurais Shihab antara lain mengatakan bahwa: homoseks merupakan perbuatan yang sangat buruk sehingga ia dinamai fahisyah. Ini antara lain dapat dibuktikan bahwa ia tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun. Hubungan seks yang merupakan fitrah manusia hanya dibenarkan terhadap lawan jenis. Pria bernafsu terhadap wanita, demikian sebaliknya.[8] Islam dengan tegas menentang segala cara dalam merealisasikan hasrat seksual, yang mana semata-mata dianggap tak wajar dan sebab bertentangan dengan keselarasan seks, mereka melanggar keselarasan hidup, mereka menjerumuskan manusia dalam kerancauan, mereka melanggar tujuan  pembuatan dari alam semesta.[9]

Seberapa Jauh Kondisi Kekinian Pencetus Gagasan Dapat Diperbaiki

Memang kerusakan moral dalam kasus homoseksual yang terjadi pada masyarakat dewasa ini, khususnya kaum LGBT sudah kian merajalela, sehingga sudah tidak menjadi hal yang aneh. Ia bukan lagi sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena malu melakukannya, tetapi terangan-terangan. Boleh jadi karena sudah terbiasa atau paling tidak karena dinilai normal. Seperti halnya kaum Nabi Luth as. Memang, seseorang yang telah terbiasa dengan keburukan dan menganggapnya Normal seringkali menilai kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, bukan saja karena jiwa mereka telah terbiasa dengan keburukan sehinnga enggan mendekati kebaikan dan menilainya buruk, tetapi juga karena sesuatu yang telah terbiasa dilakukan, maka pada akhirnya dianggap normal dan baik. Qurais shihab dalam tafsirnya[10] dengan mengutip pendapat Al-ja’iz dalam (Rasa’il al-jahizh / risalat al-Ma’asyi wa al-ma’ad, jilid 1, hal 102) mengatakan: Apabila sesuatu yang makruf tidak lagi sering dilakukan, maka ia dapat dianggap munkar. Sebaliknya, apabila sesuatu yang munkar sudah sering dilakukan maka ia dapat dianggap makruf.

Dengan demikian, dari sini dibutuhkan perlunya melakukan amar makruf nahi munkar secara terus menerus dan tanpa bosan. Karena apabila terjadi apa yang dilukiskan di atas dapat di minimalisir dan dapat mencegah luasnya hal tersebut.

Kemudian dari aspek hukum (islam) pemerintah harus secara tegas memberikan sanksi kepada pelaku seks bebas, termasuk LGBT. Dunia telah mengakui bahwa kebobrokan moral bangsa (terutama dikalangan generasi muda) antara lain karena tidak jelasnya atau tidak adanya sanksi terhadap hubungan seks di luar nikah. Demikian juga akhir-akhir ini diungkapkan bahwa penularan penyakit yang paling berbahaya (AID) adalah melalui hubungan seks bebas (di luar nikah). Terbuktilah di sini betapa luhur konsep agama (islam) tentang hukum dan moral.[11]

 

Pihak-Pihak yang Terkait

Untuk mengimplementasikan pencegahan meluasnya kasus LGBT, maka diperlukan pihak-pihak yang terkait, diantaranya:

  1. Pemerintah

Jiwa seorang pemimpin yang adil dan beriman adalah meyakini bahwa hukum-hukum syari’ah yang bersifat ketuhanan ini adalah paling adil, sempurna, selaras dengan segala bentuk kebaikan, dan menyebarluaskan kemaslahatan.  Karena hukum islam tidak hanya mengatur kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, akan tetapi mengatur setiap individu dalam semua aspek kehidupan. Maka pemerintah harus mengedepankan masalah akhlak (moral) kepada masyarakat dalam seluruh aspek kegiatannya, karena nilai moral dan etika adalah nilai yang bersifat universal yang diajarkan oleh semua agama.

  1. Masyarakat

Setiap orang harus terlibat dalam pencegahan kasus LGBT ini. Masyarakat dan kaum muslim secara umum. Karna ini bukan masalah individu, akan tetapi sudah menjadi masalah umat dan dunia.

  1. Akademisi

Para intelektual muslim harus memberikan pengarahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum islam terhadap masyarakat yang belum sama sekali mengetahui secara keseluruhan mengenai hukum dan dampak-dampak buruk dari LGBT.

Langkah-Langkah Strategis Implementasi

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan agar perbaikan dapat dicapai antara lain

Konsep hukum islam:
  • Kesadaran  hukum (taqwa)
  • Amr maruf nahi munkar
  • Sanksi yang tegas

  1. Kesadaran hukum

Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum atau norma-norma yang berlaku. menanamkan kesadaran hukum pada masyarakat wajib dilakukan semua pihak. Kesadaran hukum sejatinya adalah bagaimana hak dan kewajiban setiap individu untuk taat dan patuh pada hukum. hak untuk hidup nyaman dalam bermasyarakat dan berkewajiban pula menjaga dan tidak merusak tatanan sosial. tentu tidak terlepas dengan nilai taqwa seorang hamba, yaitu bukan karna takut hukuman semata melainkan disini lebih menekankan takut berbuat dosa.

  1. Amr ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah keburukan).

Perlunya umat muslim melakukan amr ma’ruf nahi munkar dijelaskan dalam (Q.S At-Taubah [9]: 71).

 “orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah wali (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

Dalam ayat ini Allah melukiskan orang-orang beriman sebagai orang-orang yang menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dapatlah disimpulakan bahwa mereka yang meninggalkan amr ma’ruf nahi munkar tidak termasuk dalam kelompok kaum beriman seperti disebutkan dalam ayat ini.[12] Melaksanakan amr ma’ruf nahi munkar adalah wajib hukumnya, dan bahwa kewajiban itu tidak akan gugur sepanjang ada kemampuan untuk melakukannya.[13]

  1. Sanksi yang tegas bagi pelaku LGBT

Dalam hal ini, diberlakukan hukum Ta’zir yaitu dengan diserahkan kepada pemerintah untuk memberikan sanksi yang tegas. Karna rusaknya moral generasi muda sebab tidak ada sanksi bagi pelaku seks bebas. Setidaknya hukum bisa sebagai kendali bagi mereka untuk melakukan perbuatan LGBT, sehingga dapat mencegah dari perbuatan tersebut.

Peluang dan Tantangan dalam Implementasi

            Sebagian besar dalam kasus seorang homoseksual dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan. Maka dalam hal ini, sangat perlu memperbaiki lingkungan seorang homoseksual dimana ia bergaul. Dengan demikian, diperlukan peran masyarakat dan pemerintah untuk mengatur tatanan sosial yang baik

Agama tidak membenarkan perilaku LGBT. Maka dari itu, memberikan pencerahan kepada kaum LGBT juga merupakan tugas dan tantangan umat muslim. Dalam hal ini yang ikut berperan besar adalah media. Maka harus ada kebijakan untuk melarang tayangan yang mengampanyekan LGBT sangat baik dan efektif. Larangan tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang LGBT.

KESIMPULAN

Gagasan

Pada dasarnya manusia diciptakan berpasang-pasangan, antara laki-laki dan prempuan sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan yang sah. keselarasan seks dipertimbangkan dengan syarat hubungan yang saling mengisi. cara terbaik merealisasikan keselarasan yang diharapkan adalah untuk lelaki dalam mengasumsikan sifat kelaki-lakiannya dan perempuan dalam mengasumsikan sifat kewanitaannya.

Menurut hukum fiqh jinayah (hukum pidana islam), homoseksual atau hubungan dengan jenis kelamin yang sama atau dalam istilah fiqh yaitu liwath  termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan bertentangan dengan sunnatullah serta fitrah manusia.

Teknik Implementasi

            Dalam proses implementasi program ini, untuk mencegah meluasnya perbuatan LGBT dan menyadarkan masyarakat tentang dampak buruknya. Dibutuhkan suatu teknik yang berlaku untuk jangka panjang dan berkelanjutan (continue). Teknik tersebut bisa dilakukan dengan memberikan saksi yang tegas dan melakukan amr ma’ruf nahi munkar. Tentunya dilakukan dengan tekad yang kuat dan evaluasi terhadap penerapan yang dilakukan. Tentunya teknik tersebut akan berjalan dengan baik jika pihak-pihak terkait seperti pemerintah, aparat negara, dan masyarakat bekerja sama supaya terwujudnya perbaikan dan moral bangsa dapat diperbaiki. Terutama perlunya menjaga dan memelihara norma yang tumbuh berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat untuk membatasi seseorang dan generasi pemuda dalam bergaul. Sebab perbuatan LGBT melanggar norma yang ada dalam masyarakat.

Prediksi Hasil

Walaupun tidak sedikit orang setuju tentang LGBT dan bahkan  beberapa negara di dunia barat sudah melegalkan pernikahan sejenis, tidak lantas menjadikan bangsa indonesia dan umat muslim yang beriman akan ikut serta setuju dan melegalkan pernikahan sejenis. Bangsa indonesia yang penduduknya mayoritas islam serta masih memegang dengan erat nilai-nilai islam dan memegang erat norma-norma yang berkembang. Tentu LGBT akan mendapat protes bahkan perlawanan, bukan karna diskriminatif atau menyudutkan kelompok tertentu. Akan tetapi lebih beralasan dengan menjaga moral bangsa dari kerusakan dan memelihara kebenaran universal yang selama ini diakui oleh mayoritas penduduk dunia.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas

Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, 2013 Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Maria Farida Indriati S, 2007, ilmu per-undang-undangan, Yogyakarta:  kanisius.

Kutbuddin Aibak, 2009,  fiqh kontemporer, surabaya: eL-KAF.

  1. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 7, jakarta: lentera hati.

http://lifestyle.sindonews.com/read/1082855/166/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sejenis-dan-lgbt-1454594358

  1. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 10, jakarta: lentera hati.

Abdel wahab Bouhdiba, 2004, Sexuaity In Islam, Yogyakarta: Alenia.

  1. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 6, jakarta: lentera hati.

Suparman Usman, 2001,  Hukum Islam, jakarta: gaya media pratama,.

Al-Ghazali, 2003, amr ma’ruf nahi munkar, terjemahan Muhammad Bagir, Bandung: karisma.

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas

[2] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hlm. 313.

[3] Maria Farida Indriati S, ilmu per-undang-undangan, kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 18.

[4] Kutbuddin Aibak, fiqh kontemporer, eL-KAF, surabaya, 2009, Hlm. 111.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 7, jakarta, 2002, Hlm. 289.

[6] http://lifestyle.sindonews.com/read/1082855/166/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sejenis-dan-lgbt-1454594358

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 10,  jakarta, 2002, Hlm. 120.

[8] Ibid. Hlm. 121.

[9] Abdel wahab Bouhdiba, Sexuaity In Islam, Alenia, Yogyakarta, 2004. Hlm. 65.

[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol. 6, jakarta, 2002, Hlm. 313.

[11] Suparman Usman, Hukum Islam, jakarta, gaya media pratama, 2001, Hlm. 85.

[12] Al-Ghazali, amr ma’ruf nahi munkar, terjemahan Muhammad Bagir, Bandung, 2003, Hlm. 14-15.

[13] Ibid. Hlm. 32.

NASAKH MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Nasakh dan mansukh adalah salah satuan dari rangkaian hukum-hukum yang termaktub dalam syari’at islam, walupun dalam kalngan ulama’ benyak terjadi perdebatan pada posisi hapus menghapus dan batal membatalkan baik berbentuk tekstuaal maupun dalam konterks hukumnya pula. Perbedaan pendapat para ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat mansukh(dihapus) dalam al-qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang nampak kontradiksi bila dilihat dari zhahirnya, sebagian ulama’ berpendapat bahwa diantara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak dapat dikompromikan. Oleh karena itu, mereka manerima teori nasikh (menghapus) dalam al-Qur’an sebaliknya, bagi para ulama’ yang terdapat bahwa ayat-ayat tersebut dapat dikompromikan keseluruhannya, tidak mengakui teori penghapusan itu.

Ulama’-ulama’ klasik yang menerima penghapusan dalam al-Qur’an tersebut ternyata tidak sepakat dalam menentukan ayat yang menghapus (nasakh) dan ayat yang dihapus (mansukh); dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disebut bahwa terdapat kecendrungan dikalangan ulama’ klasik untuk menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang mengerikan. ayat tentang jihad, misalnya telah dikatakan membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf, dan toleran dalam keadaan tertekan. As-Suyuti kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya 20 ayat. Sedangkan syah waliallah menguranginya hingga menjadi lima ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat yang dihapus ini, makin lama makin berkurang jumlahnya seiring dengan berjalannya sejarah,

 NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

  1. Nasakh mansukh dalam al-Qur’an

Ada beberapa disebutkan dalam al-qur’an diantaranya adalah:

ما ننسخ من ءاية او ننسها نءت بخير منها او مثلها

Ayat mana sajakah yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya pasti kami datangkan yang lebih baik dari pada itu atau yang sama dengan itu. (al-baqarah.2:106)

واذا بدلنا ءاية مكان ءاية والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفتر بل اكثرهم لا يعلمون

Dan bila kami (Tuhan) mengubah suatu ayat (perkabaran) sebagai pengganti ayat (pengkabaran) yang lain, dan Allah maha mengetahui akan apa yang ia turunkan, mereka berkata,” engkau itu hanya membuat but saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(an-nahl.16:101).

ولما سكت عن موسى الغضب اخذ الواح وفي نسختها هدى ورحمة للذين هم لربهم يرهبون

Dan setelah amarah musa mereda, diambil kembali lauh-lauh(taurat) itu, didalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut sama Tuhannya.(al-a’raaf.7;154)

 Ayat –ayat di atas sebagai pengungat bagi para ulama’ untuk membenarkan bahwa nasikh mansukh benar adanya di singgung dalam al—Qur’an, dari berbagai ayat yang tersurat di atas dan ada yang lainnya fundamental komentar atau hujjah ulama’ untuk menentukan hukum-hukum yang konteks dan maknanya terdapat kontradiktif di antara dalil-dalil al-Qur’an tersebut.

Namun ulama’ memperluas masalah nasikh mansukh terletak pada makna yang terkandung dalam ayat, sebagian ulama, mengatakan menghapus, membatalkan, mengganti, mengangkat, mengubah, memindahkan antara ayat dengan ayat yang lain, terutaman adanya dua ayat yang kontradiktif makna dan konteksnya, yang dulu atau yang baru turun.

  1. Pengertian Nasikh

Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian; yaitu antara lain penghilangan(izalah), penggantian(tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan,mengubah, dan memindahkan disebut nasikh.[1]

Dalam buku lain mengatakan lafaz nasikh terdapat dalam al-Qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafaz tersebut mengisaratkan adanya nasikh (penghapusan,pembatalan) dalam al-Qur’an disisi lain Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

ولوكان من عند غيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النساء     )                                                 

Artinya : seandainya Al-Qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan didalam ikhtilaf ( kontradiksi) yang banyak (QS.4:82)

Ayat tersebut di yakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan yang kontradiksi. Dari sinilah, antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh[2].

Melihat arti nasikh yang sudah di kemukakan oleh beberapa pendapat dapatlah di pahami, bahwa nasikh menurut etimulogi adalah menghilangkan, menggantikan,menghapus, pemindahan suatu hukum yang kontardiktif antara nasikh dan mansukh.

Nasikh menurut terminologi, terdapat perbedaan definisi nasikh. Ulama’ mutaqoddimin abad satu hingga abad tiga hijriyah memperluas arti kata nasikh hingga mencakup hal-hal berikut.

  1. Pembatasan hukum yang ditetapkan terhadap ayat terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
  2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
  3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersikap samar.
  4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[3]

Nasikh secara terminologi adalah para ulama’mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan rof’u al-hukmi asy syar’i bi al-khithab asy syar’i (menghapus hukum syarak dengan kitab syara’ pula) atau rof u bi al-hukmi bil al-dalili asy syar’i (menghapus hukum syarak dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi “ menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum yang terhapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.[4]

Nasikh adalah menghapus atau menghilangkan suatu hukum syar’i dengan syar’i yang lain.[5] Kalok melihat dari beberapa pendapat di atas secara gamlangnya adalah nasikh itu berfungsi untuk menghapus  hukum-hukum syarak dengan dalail syara’ yang lain karena nasikh bisa dikatatak pergantian yang relatif dengan dalil syara’ pula.

Nasakh dalam istilah para ahli usul fiqh adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalan baik secara terang-terangan atau secara kandungan saja, baik pembatalan secara umum maupun pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya, atau nasakh ialah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.[6]

  1. Pengertian Mansukh

Mansukh menurut etimologi adalah dihapus,diganti,diubah,dipindahkan. Jadi mansukh hukum syara’ yang dihapus, yang di ganti, yang diubah, yang dipindahkan, sehingga mansukh adalah objek hukum syara’ oleh subjeknya. Mansukh termasuk isim maful dari nasikh dalam bahasa arab asal kata yang sama berubahan dan makna yang berbeda, perbedaan makna antara kedua pembahasan ini adalah naskh artinya telah menghapus sedangkan mansukh dihapus, seperti diterangkan di atas antara subjek dan objek,peneliti dan diteliti. Analogi yang mendekati pemahaman mengenai nasakh dan mansukh sama antara orang yang menghapus dengan apa yang di hapus.

Melihat kedua uraian dan pengertian diatas dapat di ilustrasikan nasakh dan mansukh  letak berbedaannya, dalam bagan dibawah ini

NASAKH TAKHSHISH
1.      Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian yang terdapat dalam mansukh

2.      Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dari dalil mansukh

3.      Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudia

4.      Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas

5.      Setelah terjadi nasikh, seluruh sesuatu yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.

1.      Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafaz umm

2.      Takhshish merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil umm

3.      Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahulinya.

4.      Takhshish tidak menghapuskan hukum umm sama sekali. Hukum umm tetap berlaku meskipus sudah dikhususkan.

5.      Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat dalam umm tetap terikat oleh dalil umm

  1. Kriteria Ayat-Ayat Mansukh

Sebelum kepembahasan kriteria ayat-ayat mansukh. Kita bahas macam-macam nasakh dan mansukh.

  1. Macam-Macam Nasakh Mansukh
  2. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama’ sepakat atas kebolehannya.

Contoh :

والذين يتوفونمنكم ويذرون ازواجا وصية لازواجهم متاعا الى الحول غير اخراج فان خرجن فلاجناح عليكم في مافعلن في انفسهن من معروف والله عزيز حكيم

Artinya: dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri). Maka tidak ada dosa bagimu (mengenai) apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah maha perkasa dan maha bijaksana( Al-Baqarah:2:240)[7]

Di naskh dengan ayat berikutnya.

والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا فاذا بلغن اجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في انفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير

Artinta: dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menenggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila (akhir) iddah mereka telah sampai, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah maha mengetahui dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:2:234)[8]

  1. Nasikh al-Qur’an dengan sunnah. Bagi kalangan ulama’ hanafiyah, nasikh semacam ini di perkenankan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawattir atau masyhur, akan tetapi, ketentuaan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad, bila kedua jenis sunnah diatas bersetatus Qoth’i tsubut, sebagaimana al-qur’an, maka hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersipat zhonni tsubut.

Keputusan kalangan hanafiyyah mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama’ usul fiqh. Menurut mereka, apapun jenis sunnah yang menghapus al-Qur’an, hal itu tetaplah tidak diperkenankan. Assafi’i mengajukan analisisnya, sunnah tidak sederajat dengan al-Qur’an.

  1. Nasikh as-sunnah dengan al-qur’an. Menurut mayoritas ahli usul. Nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat terhadap ke baitul al muqoddas menjadi ke ka’bah.

قد نرى تقلب وجهك فى السماء فلنو لينك قبلة ترضها فول وجهك شطر المسجدالحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره

Artinya: kami melihat wajahmu (Muhammad) sering mengadah kelangit. Maka kami akan palingkan engkau terhadap kiblat yang engkau senangi. Maka arahkanlah wajahmu kearah masjidil haram, dan dimana saja engkau berada, arahkanlah wajahmu ke arah itu.(Al-Baqarah:2:144)

  1. Nasikh as-sunnah dengan as-sunnah.[9]

Contoh: Rasulullah bersabda

كنت نهيتكم عن زيا رة القبور الا فزورها فانها تذكر كم الحياة الاخرة

Artinya : aku pernah melarang kamu berziarah kubur. Ingatlah, ziarahlah kekubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan kehidupan akhirat.

  1. ayat-ayat mansukh ada tida macam.
  2. Nasakh bacaan dan hukum. Yaitu tidak bole dibaca dan tidak boleh di amalkan karena telah dinasakhkan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat tentang penyusuan menjadikan kemahraman seseorang dengan sepuluh kali penyusuan. Aisyah r.a berkata.termasuk al-qur’an yang pernah di turunkan, sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat menjadikan ke-mahram-an seseorang, kemudian dinasikh dengan lima kali menyusui yang diketahui. Maka. Wafat Rasulullah SAW, sedangkan ketentuan masalah ini tidak termasuk dalam ayat al-Qur’an yang dibaca tentang masalah ini. Fakhruzi berpendapat bahwa bagian pertama yakni sepuluh kali penyusuan dapat menjadikan kemahraman seseorang. Kalimat ini dinasakhkan hukum dan bacaannya. Sedangkan bagian kedua. Yakni lima kali penyusuan dinasakhkan bacaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku.
  3. Nasakh bacaan tapi hukumnya tetap berlaku. Sebagaimana dikatakan az-Zarkasyi dalam alburhan, wajib di amalkan bila diterima secara sepakat bulat oleh ummat seperti yang tersurat dalam surat an-nur bahwa” janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian karena itu kufur bagi kalian” jenis kedua ini sangat sedikit di temui dalam ayat-ayat al-Qur’an, karena Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca sebagai ibadah dan penyusunan hukum-hukum bagi manusia.
  4. Nasakh hukum tetapi bacaannya tetap berlaku. Banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Jenis inilah yang sangat dikehendaki oleh syari’at islam. Misalnya, ayat tentang kiblat yang menyatakan bahwa(al-Baqarah,2:115) ayat tersebut dinasikhkan oleh ayat(al-Baqarah,2:114). Jadi dapat di ungkapkan, bahwa, disatu sisi, nasikh mengandung lebih dari satu pengertian, sedangkan disisi lain, perkembangan nasikh hanya dibatasi dengan satu pengertian.[10]
  1. Kriteria metode mengetahui adanya nasakh mansukh dalam hadits.
  2. KriteriNaskh (pembatalan). Jika tidak memungkinkan dilakukan harmonisasi, maka langkah selanjutnya dengan membatalkan salah satunya. Caranya dengan membatalkan hadis yang munculnya lebih awal dan memberlakukan hadis yang munculnya lebih akhir. Hadis yang dibatalkan/ dihapus disebut dengan mansukh dan hadis yang menghapus dinamakan nasikh.
  3. Dari pernyataan para Sahabat, seperti hadis dari Jabir bin Abdillah Metode untuk mengetahui adanya nasakh:
  4. Dari pernyataan Nabi sendiri, seperti hadis tentang ziarah kubur yang mengatakan bahwa yang paling akhir yang diperintahkan Nabi adalah tidak perlu berwudhu` kembali setelah memakan sesuatu yang disentuh api.
  5. Dari sejarah/ waktu terjadinya kedua hadis tersebut. Misalnya hadis dari Syidad bin Aus yang menyatakan bahwa telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam (terjadi pada tahun kedelapan). Di sisi lain Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi berbekam sedangkan Ia dalam keadaan berpuasa dan berihram. (Hadis ini terjadi pada tahun kesepuluh, yaitu saat haji wadda`).
  6. Ijma` sahabat/ ulama. Misalnya bertalbiyah atas nama wanita dan melempar jamrah atas nama anak. Ulama berijma` bahwa wanita tidak ditalbiyahkan oleh selainnya sebagai ganti.[11]
  1. Implikasi Konsep Nasakh Mansukh Dalam Al-Qur’an

Fenomena nasakh yang keberadaannya masih terdapat perbedaan dalam ulama’ al-Qur’an, walaupun sebagian ulama’ mengakui keberadaannya. Adalah bahwa bukti terbesar adanya dialek, jika hubungan antara wahyu dengan realita, jika demikian menurut nasir hamid abu zaid. Maka ada dua konsekwensi yang dimunculkan oleh fenomena oleh naskh ini.

  1. Bagaimana mengkompromikan konskwensi bahwa teks mengalami”perubahan” melalui naskh dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azzalii di lauh al- mahfuhz.
  2. Problem pengumpulan al-qur’an pada masa khalifah abu bakar, hal ini muncul terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama’ dapat menimbulkan kesan bahwa sebagian dari bagian-bagian teks sudah terlupakan dari ingatan manusia.

Terkait dengan pernyataan diatas, jika kita berbicara mengenai implikasi konsep nasakh mansukh dalam al-qur’an, maka tidak terlepas dari dua penomena yang dikemukakan diatas. Di antara implikasi terhadap al-Qur’an yang dapat kita deteksi di antaranya.

  1. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Nasakh Mansukh

Konsep naskh mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-Qur’an secara bertahap atau beransur-ansur dan juga erat kaitannya dengan as-bab al-nuzul, sebab secara gamblang dapat dijelaskan bahwa, harus ayat naskhiyat yang datang kemudian dari pada ayat mansukhiyat, sebab jelas bahwa tidak mungkin sesuatu yang datang lebih dahulu menggati sesuatu yang datang kemudian.

Selain itu kita juga dapat melihat antara nasikh dan mansukh dengan masalah sa-bab al nuzul ada keterkaitan, sebab biasanya Allah menurunkan atau menerapkan sesuatu hukum juga melihat kondisi dan situasi masyarakat pada saat itu. Semisal ayat-ayat tentang keharaman khamar.

Dari dua pemahaman di atas. Dapat diambil benang putihnya. Al-Qur’an sebagai kitab pendidikan terbesar melalui konsep nasakh dan mansukh, ini ingin menjelaskan bahwa.

  1. Sebenarnya Allah ingin mengajarkan kepada manusia dalam menganjurkan atau memberi pelajaran haruslah dilakukan secara bertahap. Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena kepada siapa yang diajar itu juga ketika memberi sebuah pemahaman haruslah secara bertahap.
  2. Bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu tidak bisa dikatakanabadi dan benar untuk selamanya, sebab suatu saat ilmu pengetahuan itu akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman, nasikh dan mansukh menggambarkan bahwa bisa jadi suatu hukum yang berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya.
  3. Dengan nasikh dan mansukh memberikan pengertian bahwa kita harus mencontok sipat Allah yang sang maha pemurah, sebab ada kalanya Allah mengganti hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih ringan ini semua tidak lain kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah SWT.
  4. Dengan nasikh dan mansukh kita juga dapat mengambil pelajaran pendidikan bahwa nilai-nilai penghargaan terhadap sesama dengan sifat saling hormat menghormati terhadapat pandangan serta gagasan yang dimiliki oleh masusi baik itu berupa pendapat fikiran,perbuatan serta perkataan kiranya terjadi kontradiktif kita dengan dewasa menyikapi hal-hal seperti itu.

                                                        KESIMPULAN

Melihat beberapa uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa kebanyakan ulama’ sepkat tentang adanya hukum nasikh mansukh.

Kemudian para ulama’ fiqh dan usul fiqh sepakat bahwa naskh mansukh benar adanya mengenai nasakh mansukh dalam al-Qur’an dan sunnah.

Syari’at selalu melihat kemaslahatan ummat manusia oleh karena itu nasikh mesti ada dan terjadi pada sebagian hukum.

Nasikh itu tidak terjadi pada berita-berita tetapi terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah halal dan haram.

Hukum-hukum itu bersumber dari Alloh yang disyari’atkan demi untuk kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Menyimpang dari syari’at akan menyebabkan ketimpang tindihan dalam kehidupan manusia karna tidak mengikuti ajaran serta anjuran islam sesuai dengan ketentuan.

Dari nasakh dan mansukh kita bisa mengambil pelajaran dalam sosial bahwa tidak selamanya yang lebih tua itu selalu relevan ungkapannya dari pada ornag yang kemudian lahir, karena pendapat itu sesuai dengan keadaan sosial dan psikologi kondisi masyarakat tersebut.

[1] Rosihon anwar, ulumul qur’an, pustaka setia bandung,2000,hlm. 172.

[2] Muhammad chirzin, al-qur’an dan ulumul qur’an.dana bhakti prima yasa yogyakarta,2003,hlm39

[3] Ahmad izzan. Ulumul  al-qur’an. Telaah tekstualitas dan kontekstualitas al-qur’an, humanora, 2011. Hal 185.

[4] Rosihon anwar, op, cit., hlm172

[5] Muhammad chirzin, op, cit., hlm 41.

[6] Abdul wahhab khallaf, ilmu usul fiqih, dina utama. Semarang. 1994.,hlm.,346

[7] Al-qur’an dan terjemahan, mushaf aminah, alfatih. Hlm.240

[8] Opcit. Al-qur’an dan terjemahan. Hlm 234

[9] Ibid hal-186

[10] Ibid.hal,186-187

[11] Dr. Ocktoberrinsyah. Ikhtilaf hadits. Hlm 3.

TASAWUF STUDIES

PERKEMBANGAN DAN PERAN TASAWUF DI ZAMAN ERA MODERN

book review

Judul: tasawuf studies

Penulis: Dr. H. Syamsun Ni’am, M.ag.

Abstract

Dalam laku kehidupan secara empiris, paraktik tasawuf dianggap sebagai obat penyembuh penderitaan batin di tengah-tengah krisis kemanusiaan. Kondisi zaman yang serba materialistik hedonistik seperti yang sekarang ini rawan menggiring manusia menuju titik nadir krisis nurani. Lalu, dari titik terendah itu akan berujung ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup sehingga berlanjut menjadi krisis eksistensi. Jika seorang individu sudah dalam tahap krisis eksistensi barangkali satu-satunya jalan penyelamat adalah lewat jalan spiritualitas atau terkhusus adalah jalan tasawuf.

Bagaimana peran tasawuf di tengah perubahan?

Bagaimana tasawuf mengembalikan krisis eksistensi manusia di era modern?

Di sisi lain yang berbeda, tasawuf dalam kajian islam merupakan bagian dari kajian islam lainnya, seperti kajian tauhid dan fikih. Sebagaimana akan di jelaskan dalam book review ini bahwa eksentuasi dari masing-masing kajian tersebut antara lain kajian tauhid terletak pada soal-soal akidah ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­pengesaan Allah Swt. Dan berbagai hal terkait dengan soal pokok-pokok agama dan kajian fikih menitikberatkan kepada soal-soal ijtihadi yang bersifat haliyah‘amaliyah-furu’iyah, dan tasawuf kajiannya terletak pada soal-soal batini menyangkut hal-hal dzauqani, ruhani, dan sangat esoteris.

 

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan bagian dari kajian islam yang tak terpisahkan dari islam kajian lainnya, sepertii halnya pada kajian tauhid dan fikih. Jika akseeentuasi kajian tauhid terletak pada soal-soal akidah (Pengessaaan Allah Swt. Dan berbagai hal terkait dengan soal pokok-pokok agama dan kajian fikih menitikberatkan pada soal-soal ijtihadi yang bersifat haliyah, amaliyah, furu’iyah, maka tasawuf kajiannya dengan hal-hal batini, menyangkut hal-hal dzauqi, ruhani, dan sangat esoteris. Hal-hal inilah yang kemudian membawa pada diskursus bahwa inti ajaran tasawuf adalah untuk mencapai kehidupan batini dan ruhani (pertalian langsun dengan Allah).

Oleh karena itu, orisinalitas tasawuf harus tetap berjalan kelindan dengan dua aspekyang mendahuluinya, yaitu berlandaskan akidah (tauhid) dan syri’at (fikih). Begitu juga sebaliknya, domain akidah dan fikih tidak boleh lepas kendali dari tasawuf. Tidak boleh dan tidakk bisa kemmudian berjalan sendiri-sendiri. Idealitas ajaran dan kajian islam adalah menampilkan ketiga domain tersebut secara bersama-sama dan tidak berat sebelah.

  1. pengertian tasawuf

Dalam kaitan tasawuf, Nicholson sebagaimana dikutip Alwi shihab, mencatat antara lain ada 78 definisi.[1] Bahkan menurut as-suhrawardi, mengakui tasawuf memiliki lebih dari seribu definisi.[2] Hal ini menunjukkan bahea banyaknya definisi tasawuf yang muncul adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan banyaknya definisi yang muncul adalah sebanyka persepsi yang dimunculkan oleh para sufi sebagai manifestasi dari pengalaman sufistik (Mistik)nya tersebut.

Secara lughawi/etimologis (kebahasaan) sebagian ada yang bependapat kata tasawuf atau sufi diambil dari kata shaff, yang berati saf atau baris. Dikatakan demikian, karena sufi selalu berada pada baris pertama dalam sholat.[3] Ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti bersih. Karena hatinya selalu dihadapkan kehadirat Alllah Swt., dan bentuk jamak (plural)-nya adalah shaffi, bukan sufi.[4] Ada lagi yang mengatakan, berasal dari kata shuffah atau shuffat al-masjid, serambi masjid. Tempat ini didiami oleh para sahabat Nabi yang   tidak punya tempat tinggal. Mereka selalu berdakwah dan berjihad demi Allah semata. Dikatakan shufi, karena senantiasa menunjukkan perilaku sebagaimana para sahabat pada masa Nabi Saw.[5] Ada lagi yang berpendapat, kata shufi berasal dari kata shopos (bahasa yunani) yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Dikatakan demikian, karena sufi selalu menekankan kebijaksanaan. Huruf ‘s’ pada kata shopos ditransliterasikan ke dalam bahasa arab menjadi shad (ص) dan bukan sin (س ) sebagaimana tampak dalam kata philosophi yang ditranslierasikan ke dalam bahasa arab menjadi falsafah (فلسفة ). Dengan demikian, kata sufi, dalam bahasa arab seharusnya ditulis “سوفئ ” bukan “صوفئ ”.[6]

Dari derivasi-derivasi kata di atas yang penulis kemukakan sebagian dari sedemikian banyaknya pendat, itu mengisyaratkan betapa sulitnya memberikan definisi tentang tasawuf. Berikut penulis akan kemukakan beberapa pendapat ahli tentang definisi tasawuf yang di sampaikan oleh ibrahim hilal sebagai berikut.

“Tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadah, wirid-an lepas, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid, lemahlah unsur jasmaniyah dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur ruhaniah atau jiwanya”.[7]

Abu al-hasan asy-syadzali (1258 M), guru spiritual terkenal dari afrika utara sebagaimana dikutip oleh Fadhlalla Haeri, tasawuf sebagai “praktik-praktik amalan dan latihan dalam diri seseorang melalui ibadah dan penyembahan lain guna mengembalikan diri kepada Allah Swt.

Dengan demikian, bila dikaji lebih mendalam, pada hakikatnya tasawuf itu mengandung dua prinsip. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abd ar-Rahman badawi dalam kitabnya, Tarikh at-tashawuf al-islami.[8]

Dua hal tersebut adalah pertama, pengalaman batin dalam hubungan langsung antara seorang hamba dengan tuhan, dengan cara tertentu di luar logika akal, yaitu dengan bersatunya subyek dengan obyek yang menyebabkan yang bersangkutan “dikuasai” ggelombang kesadaran seakan dilimpahi cahaya yang menghayutkan perasaan, sehingga tampak baginya suatu kekuatan gaib menguasai dirii dan menjalar di segenap jiwa raganya.

Kedua, dalam tasawuf, “kesatuan” tuhan dengan hamba adalah sesuatu yang memungkinkan, sebab jika tidak, tasawuf berwujud akan sekedar moralitas keadaan keagamaan. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan terhadap wujud absolut yang merupakan satu-satunyawujud yang nyata. Komunikasi dan hubungan langsung dengan tuhan berlaku dalam taraf-taraf yang berbeda hingga mencapai “kesatuan paripurna”, yaitu tidak ada yang terasa kecuali yang Esa.

Persamaan dan perbedaan antara tasawuf dengan ilmu kalam, filsafat, fikih, dan ilmu jiwa.

Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai kebenaran terjauh dimana tidak semua orang dapat melakukanya dan dari ketiganya berusaha menemukan kebenarannya. Kebenaran dalam tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) kebenaran sejati Allah melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan, yaitu maqomat, hal (state) kemudian fana’.

Sementara dalam ilmu kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (AL-Qur’an dan Hadits). Kebenaran dalam filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud), yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperimen. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi secara radikal, intgral, dan universal.[9] Kebenaran dalam fikih diperoleh melalui penalaran manusia yang disebut dengan proses ijtihad sehinga kebenaran yang diperoleh terkesan relatif (nisby). Sementara kebenaran dalam ilmu jiwa diperoleh melalui gejala-gejala psikis yang dialami oleh manusia dalam prilaku lahirnya sehingga kebenaran yang diperoleh juga terkesan relatif dan tidak mutlak.

Oleh karena itu, dari masing-masing kebenaran yang didapat oleh masing-masing kajian ilmu tersebut sebenarnya tidaklah menjadi jaminan untuk dominan di dalam penemuan kebenaran abadi yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan masing-masing aspek kajian tersebut. Di sinilah diperlukan ilmu lain dalam dalam menunjang penemuan kebenaran hakiki (mutlak) tersebut, di antara ilmu tersebut adalah ilmu tasawuf.

Tokoh-tokoh sufi pada awal perkembangan tasawuf

gerakan hidup zuhud ini mulai nyata kelihatan di kufah dan basrah di irak. Para zahid kupahlah yang pertama kali memakai wol kasar (suf) sebagai reaksi terhadap sutra yang dipakai golongan bani umayyah, seperti supyan ats-sauri (w. 135 H), abu hasyim (w. 150 H), dan jabir ibn hasyim (w. 190 H).

Dari basrah dan kufah, gerakan zuhud ini menyebar keseluruh penjuru dunia islam. Di basrah sebagai yang tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengmbil corak yang lebih ekstrem dari kufah. Zahid-zahid yang terkenal di sini ialah hasan al-basri (w. 110 H) dan rabi’ah al-adawiah (w. 185 H). Selanjutnya di khurasan (persia), muncul ibrahim dan muridnya Syfiq albalkhi. Di madinah lahir sa’id bin musayyab (w. 91 H), salim bin abdullah bin umar bin ja’far ash-shadiq (w. 148). Di mesir, pada abad pertama dipelopori oleh salim bin atar al-tajibi (w. 75 H), dan abdurrahman bin hujairah (w. 83 H). Sementara zahid yang menonjol pada abad hijriah di mesir ialah al-lais bin sa’ad (w. 175 H), ia seorang zahid yang kaya tapi dermawan.[10]

Ajaran Sufisme di tengah modernitas

Berangkat dari asumsi bahwa masyarakat modern sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran hidup material yang sedemikian rupa, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomat, manusia modern bukanya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya sering kali dihinggapi rasa cemas, tidak percaya diri, dan krisis moral akibat mewahnya gaya hidup materialistik yang didapat; maka pelarian dan penncarian kepada kehidupan lain sebagaimana yang terdapat dalam tasawuf atau mistik adalah hal yang mungkin saja terjadi . karena di sini mereka akan dapat melepaskan kejenuhan atau mengisi kekosongan jiwa setelah dunia modern mereka gapai dengan terpenuhinya kebutuhan materi yang didapat dengan mudah tersebut.

Gejala kebangkitan spiritualitas pada era modern tersebut, menurut jhon Naisbit dan patricia aburdene dalam megatrends 2000 adalah karena ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat memberikan makna tentang kehidupan. Karena itu, Naisbit dan aburdene membuat jargon spirituality yes, organized religion no.[11] Seorang psikologi dari California Amerika Serikat, Robert Ornstein, yang menjadi tertarik dengan sufisme. Masalahnya sangat sederhana dia mengatakan bahwa kemajuan yang dibarengi dengan kemakmuran pada masyarakat industri, teryata menimbulkan kemiskinan baru, yaitu kemiskina batin. Mengeringnya ruhani tersebut, seperti munculnya permaslahan dadakan yang bisa menimbulkan kontroversial di kalangan mereka sehingga mereka buru-buru mengadakan koreksi bahwa di dalam dirinya ada sesuatu yang hilang. Hal demikian merupakan gejala menarik, bukan saja yang menimpa pada masyarakat maju dan tradisional. Namun manakala ketenangan- ketenangan batin sudah lenyap, siapapun akan tertarik dan rindu untuk mencari kebahagiaan dan ketenamgan yang tak sebatas kesenangan hedonisme.[12]

Gejala kebangkitan spiritualitas (Aspek keruhanian) tersebut juga diakui oleh Haru nasution dengan mengungkapkan, bahwa:

pada akhir-akhir ini, banyak pula orang yang mencari keruhanian kembali. Ada yang pergi ke agama semula sungguhpun tidak dengan keyakinan penuh. Terdengar dengan ungkapan ini; ‘saya sebenarnya kurang percaya kepada agama saya, tetapi dalam kekacauan nilai yang dibawa kemajuan iptek modern sekarang, saya harus mempunyai pegangan. Kalau tidak, kehidupan saya akan mengalami kekacauan’. Ada pula yang pergi kegerakan keruhanian di luar agama. Ada pula yang mencari keruhanian pada psikologi, bahkan menurut informasi terakhir ada yang pergi ke sihir. Hidup kematerian teryata tidak memuaskan. Di samping hidup kematerian diperlukan hidup keruhanian. Literatur keagamaan dan keruhanian mulai dicari kembali.[13]

  1. Mengapa sufisme harus ada?

Dalam sejarahnya, pada masa-masa awal (abad pertama Hijriah), tasawuf timbul di timur, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap semngat merajalelanya penyimpangan dan persentasi ajaran-ajaran islam secara liar, khususya yang dilakukan oleh para pemimpin pada masa itu.[14] Akibat dari perlawanan tersebut, mereka membentuk semacam _sebagaimana kata Nurcholis Madjid_pious oppposition (oposisi yang bermuatan kesalehan),[15] dan ingin selalu “meniru” seperti apa yang diteladankan Rasulullah Saw., khususnya oleh para sahabat Nabi. Misalnya, semangat juang,hidup sederhana, tolong menolong antar sesama, kasih sayang dan sebagainya.

Pada masa itu, praktik sufisme hanya berupa sikap a polities terhadap kehidupan politik yang kacau, yaitu terjadinya beberapa faksi politik sepeninggal Rasulullah Saw. Sejumlah orang yang diidentifukasi sebagai the piety minded yang mencoba melakukan pengasingan diri dari kehidupan politik yang tidak menentu tersebut, dengan hanya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pada abad ke-3/9 M, sufisme mulai diajarkan secara terbuka di pusat kekuasaan islam bagdad, untuk kemudian membentuk semacam agama populer yang sering kali harus berhadapan dengan agama elite kerajaan. Pada masa ini sufisme mengalami pergeseran dari sikap a polities menjai perlawanan terhadap islam rasional yang sempat dominan pada abad 9 hingga abad ke-13 M. Pada saat itu, islam berkembang secara rasional sehingga meberikan posisi yang terlalu tinggi terhadap peranan akal. Kehidupan agama pada waktu itu menjadi terasa kering dan kurang emosional. Sejak saat itu sufisme memiliki daya tarik yang sangat kuat dikalangan awam masyarakat. Popularitas sufisme sebagai gerakan agama populer ini telah banyak menaruh minat para serjana untuk mengkaji berbagai segi dari ordo-ordo (tarekat-tarekat) sufi yang meluas dan menggantikan fungsi lembaga-lembaga keagamaan lain, seperti pemeriintahan dan ulamak islam terutma setelah abad 13 M. Ketika islam telah dihancurkan oleh kekuasaan mongol.[16]

Fenomena gerakan sufisme yang menjadi agama populer sejak abad ke-3/9 M. Ini dijelaskan oleh fazlurrahman dengan menawarkan gabungan pendekatan. Menurutnya, ada beberapa faktor dalam menjelaskan fenomena ini, yaitu agama, sosial, dan politik. Sufisme pertama-tama mengajarkan tentang kesalehan individu dalam ranngka pertemuan seorang hamba kepada tuhan. Pesona keagamaan semacam ini seakan-akan membawa kesan bahwa “ada agama dalam agama” dengan struktur ide-ide, praktik-praktik dan organisasi yang ekslusif. Melalui ordo-ordo, sufisme berhasil merumuskan berbagai tahapan secara rapi dan menuntun kepada seorang murid (salik) pemula yang harus melepaskan sifat kemanusiaannya menuju sifat ketuhanan.

Peran tasawuf di tengah perubahan

Tasawuf, jika pada awalnya diidentikkan dengan kehidupan yang sangat pribadi (individualitik) adalah hal yang sangat tidak disalahkan. Ini karena memang tujuan munculnya sufisme pada masa-masa awal adalah sebagai respons dan protes atas kejahata jiwa, sosial, dan kultur politik terutama yang dilakukan oleh para penguasa. Namun dalam perkembangan selanjutnya, sufisme dengan ajaran-ajaran dan pesan moralnya telah tidak hanya menarik untuk di kaji secara ilmiah namun juga diamalkan secara terorganisasi melalui tasawuf misalnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penelitian tentang peran dan keterlibatan tarekat yang tidak hanya mengajarkan kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Bahkan, dalam sejarahnya yang panjang dapat dilihat peran sufisme (tarekat) yang begitu besar dalam pengislaman nusantara oleh para wali songo. Menurut alwi Shihab, penyebaran islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negar asia tenggara khususnya di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti.

Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan manusia yang terbuka dan berorientasi cosmopolitan.[17]

Untuk menelusuri peran sosial tarekat dalam dinamika kehidupan, ada beberapa pendapat yang dikemukakan disini. Misalnya, jhon Obert Voll dan H.A.R gibb menyatakan, ada tiga komunitas yang selau terlibat dalam proses kontinuitas dan perubahan peradaban islam, setelah runtuhnya kekuatan politik islam, yaitu ulamak fikih, para pedagang muslim (organisasi komersial), dan asosiasi sufi (tarekat).[18]

Tarekat mulai berkembang dan mulai mempunyai pengaruh besar di indonesia pada abad ke-6 dan ke-7 H. Menurut A. Mukti Ali, keberhasilan pengembangan islam di indonesia adalah jasa tarekat dan tasawuf. Sejak masuknya islam, bangsa indonesia telah mengenal ahli fikih (fuqaha), ahli teologi (mutakallimin), dan sebagainya. Namun yang sangat terkenal dalam sejarah adalah syekh tarekat, seperti hamzah syamsuri, Syamsudin sumatrani, naruddin ar-Raniri, d n abdul rauf sinkel. Kemudian disusul nama-nama syekh lainya. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata tarekat berperan menjadi pemain utama dan penentu gerakan sosial politik dan ekonomi nusantara. Sejarah menjadi saksi bahwa perlawanan bersenjata terhadap penjajah, kebanyakan telah digerakkan oleh para tokoh tarekat. Pembebasan sunda kelapa dari penjajah portugis yang dipimpin oleh sunan gunung jati atau Syarif Hidayatullah berssama fatahillah (falatehan) pada tanggal 22 juni 1527, telah menjadi bukti sejarah. Tantangan terhadap penjajah ini juga dilakukan oleh para wali songo lainnya, dan pimpinan tarekat juga telah berperan aktif dalam pengorganisasian militer guna menegakkan kedaulatan dan kekuasaan politik islam di demak, aceh, dan juga maluku. Gerakan ini terus mengalami persambungan dari waktu ke waktu selanjutnya.

Di tengah hiruk pikuknya dunia seperti sekarang ini, nampak doctrin dan ajaran taswuf messtinya dilihat dan ditempatkan pada posisi yang wajar dan proporsionalsebagai kontinuitas dari domain-domain ajaran islam lainya seperti tauhid dan syari’at (dalam pengertian khusus fikih) sehingga dalam penerapanyapun jangan terlalu menonjol dan tidak berat sebelah.

 KESIMPULAN

Sebagai penutup dari keseluruhan uraian tersebut di muka, Berangkat dari asumsi bahwa masyarakat modern sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran hidup material yang sedemikian rupa, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomat, manusia modern bukanya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya sering kali dihinggapi rasa cemas, tidak percaya diri, dan krisis moral akibat mewahnya gaya hidup materialistik yang didapat; maka pelarian dan penncarian kepada kehidupan lain sebagaimana yang terdapat dalam tasawuf atau mistik adalah hal yang mungkin saja terjadi . karena di sini mereka akan dapat melepaskan kejenuhan atau mengisi kekosongan jiwa setelah dunia modern mereka gapai dengan terpenuhinya kebutuhan materi yabg didapat dengan mudah tersebut.

Indonesia, negara muslim terbesar di dunia tetapi kini dilanda budaya materialisme dan hedonisme, tasawuf muncul ke permukaan sesungguhnya merupakan respons terhadap terhadap budaya materialisme yang melanda umat islam generasi pertama sebagai konsekuensi dari kemakmuran dunia islam pada masa era umayah dan abasiyah yang menggantikan imperium romawi dan persia. Maka ajaran-ajaran tasawuf ini merupakan ekspresi penghayatan spiritual terhadap dinamika sosial yang cenderung menyimpang dari nilai-nilai akhlaq islam.

DAFTAR PUSTAKA

Lihat R.A. Nicholson, fi at-Tashawwuf al-islami wa tarikhihi,

Shihab , islamSufistik,

Muhammad ghallab, at-tasawuf al-muqaran, Lihat Mir Valiudin, tasawuf dalam Al-qur’an,

Abu bakar muhammad bin ishaq al-kalabadzi, at-ta’arruf li madzhabi ahl at-tasawuf, Cet. Lihat musthafa ‘Abd ar-raziq, dalam Ahmad asy-syintawani, ibrahim khursyir dan Abd al-hamid yunus, da’irat al-ma’arif al-islamiyyah, jilid 5,

Ibrahim hilal, at-tasawuf al islaami bain ad-din wa al-falsafah, Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh at-tashawuuf al-islami,

Lihat “hubungan ilmu kalam, tasawuf dan filsafat-makalah-makalah tentang hubungan ilmu kalam, tasawuf dan filsafat “dalam http://www.jadilah.com/2011/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html.

Nasution, falsafah, hlm.65-66; Asmaran, pengantarNasution, Harun, islam rasioonal (bandung; Mizan, 1995),

Simuh, tasawuf dan perkembanganya dalam islam (jakarta; P.T. Raja Grpindo persada, 1996),

Nurcholis Madjid, islam doctrin dan peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: paramadina, 2000) Jamil, tarekat,

Lihat Alwi Shihab, islam sufistik; “islam pertama” dann pengaruhnya hingga kini di indonesia (Bandung Mizan, 2001),

Jhon obert voll, islam continuity and change in the modern world, Terj. Ajad Sudrajad (Yogyakarta; titian Ilahi press, 1997),

[1] Lihat R.A. Nicholson, fi at-Tashawwuf al-islami wa tarikhihi, hlm.9.

[2] Shihab , islamSufistik, hlm. 29.

[3] Muhammad ghallab, at-tasawuf al-muqaran, hlm.26-27.

[4] Lihat Mir Valiudin, tasawuf dalam Al-qur’an, hlm. 1.

[5] Abu bakar muhammad bin ishaq al-kalabadzi, at-ta’arruf li madzhabi ahl at-tasawuf, Cet. Hlm. 9-21.

[6] Lihat musthafa ‘Abd ar-raziq, dalam Ahmad asy-syintawani, ibrahim khursyir dan Abd al-hamid yunus, da’irat al-ma’arif al-islamiyyah, jilid 5, hlm. 266.

[7] Ibrahim hilal, at-tasawuf al islaami bain ad-din wa al-falsafah, hlm. 1.

[8] Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh at-tashawuuf al-islami, hlm. 18-19.

[9] Lihat “hubungan ilmu kalam, tasawuf dan filsafat-makalah-makalah tentang hubungan ilmu kalam, tasawuf dan filsafat “dalam http://www.jadilah.com/2011/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html.

[10] Nasution, falsafah, hlm.65-66; Asmaran, pengantar, hlm. 239-242.

[11] Jhon Naisbit dan patricia aburdene, megatrend 2000, ten new direction for the 1990’s (New York: Avon Book, 1991), hlm. 295; Azra, Azyumardi, “Neo-sufisme dan masa depanya”, dalam muhammad Wahyuni Nafis (Ed), Rekonstruksi dan renungan religius islam (Jakarta: paramadina, 1996), hlm. 297.

[12] Ibnu mahalli Abdullah Umar, perjalanan Rohani kaum sufi (Yogyakarta: paramadina, 1996), hlm. 297.

[13] Nasution, Harun, islam rasioonal (bandung; Mizan, 1995),hlm. 114.

[14] Simuh, tasawuf dan perkembanganya dalam islam (jakarta; P.T. Raja Grpindo persada, 1996), hlm. 22-23.

[15] Nurcholis Madjid, islam doctrin dan peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: paramadina, 2000) hlm. 255-256.

[16] Jamil, tarekat, hlm. Ix.

[17] Lihat Alwi Shihab, islam sufistik; “islam pertama” dan pengaruhnya hingga kini di indonesia (Bandung Mizan, 2001), hlm. 13.

[18] Jhon obert voll, islam continuity and change in the modern world, Terj. Ajad Sudrajad (Yogyakarta; titian Ilahi press, 1997), hlm. 130.